Aurat adalah kemaluan dan semua hal yang dapat menimbulkan rasa malu
apabila terlihat. Aurat merupakan perhiasan yang wajib ditutupi dari
orang-orang yang tidak berhak untuk melihatnya dan atau menikmatinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan kepada kita
bahwa,
“Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan
menghiasinya.” (Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi no. 1173, Ibnu Khuzaimah
III/95 dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir no. 10115, dari Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma)
Imam al-Mubarakfuri rahimahullah
berkata ketika mengomentari hadits di atas, “Dijadikan diri wanita
sebagai aurat karena jika wanita muncul maka ia akan merasa malu,
sebagaimana ia merasa malu melihat aurat manakala terbuka. Sehingga
dikatakan bahwa maknanya wanita itu memiliki aurat.” (Lihat Tuhfatul
Ahwadzi III/237 dan Syarah al-Arba’un al-Uswah no. 32)
Karena
itu, kita sebagai kaum wanita haruslah menaruh perhatian yang besar
terhadap masalah ini. Hanya saja, Allah ta’ala telah memberikan
pengecualian mengenai larangan menampakkan aurat kepada beberapa orang
yang menjadi mahram kita. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
“… dan
janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra
mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau
putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka
miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
wanita…” (Qs. An-Nuur: 31)
Kita telah memahami maksud larangan
menampakkan perhiasan wanita di depan yang bukan mahramnya, lalu
bagaimana maksud dan aplikasi pengecualian ini terhadap orang-orang yang
menjadi mahram kita? Adakah batasan aurat yang boleh ditampakkan di
depan mahram?
Batasan Aurat (Perhiasan) Wanita yang Boleh Tampak di Depan Mahram
Dari artikel sebelumnya, (Lihatlah Siapa Mahrammu 1, Lihatlah Siapa
Mahrammu 2) kita telah mengetahui siapa saja yang termasuk mahram, dan
siapa yang tidak termasuk mahram. Dalam surat an-Nuur ayat 31, Allah
ta’ala membolehkan mahram melihat bagian-bagian dari perhiasan seorang
wanita yang tidak boleh ditampakkan pada laki-laki yang bukan mahram.
Hal ini dikarenakan keadaan darurat yang mendorong terjadinya
percampur-bauran di antara mereka mengingat adanya hubungan kekerabatan
dan amannya mereka (para mahram) dari fitnah. [Lihat Ensiklopedi Fiqh
Wanita (II/157)]
Secara garis besar, ada dua pendapat ulama yang masyhur (populer) tentang batasan yang boleh dilihat oleh mahram, yaitu:
Pendapat pertama: Mahram boleh melihat seluruh tubuh wanita, kecuali
bagian di antara pusar dan lutut, dan inilah pendapat kebanyakan ulama.
[Lihat al-Mabsuuth (X/149), al-Majmuu' Fataawaa Ibn Taimiyah (XVI/140),
Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/158)]
Pendapat tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jika salah seorang di antara
kalian menikahkan hamba sahaya atau pembantunya, maka jangan sekali-kali
ia melihat sedikit pun dari auratnya. Karena apa yang ada di bawah
pusar hingga lutut adalah aurat.” [Hadits hasan. Riwayat Ahmad (II/187)
dan Abu Dawud (no. 495)]
Meskipun jika dilihat dari matan
(redaksi) nya, hadits tersebut ditujukan kepada kaum lelaki, namun
hadits tersebut berlaku juga bagi kaum wanita karena kaum wanita adalah
saudara sekandung/belahan bagi kaum lelaki. Wanita belahan laki-laki
maksudnya adalah masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang
sama dalam syariat, termasuk diantaranya adalah batasan aurat, menurut
pendapat dia atas.
Diriwayatkan pula dari Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu,
ذَخَلْتُ أَنَا وَأَخُو عَائِشَةَ عَلَى عَائِشَةَ فَسَأَلَهَا أَخُوهَا
عَنْ غُسْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَدَعَتْ بِإِنَاءٍ نَحْوًا
مِنْ صَاعٍ فَاغْتَسَلَتْ وَأَفَاضَتْ عَلَى رَأْ سِهَا وَبَيْنَنَا
وَبَيْنَهَا حِجَابٌ .
“Aku dan saudara ‘Aisyah datang kepada
‘Aisyah, lalu saudaranya itu bertanya kepadanya tentang mandi yang
dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas ‘Aisyah
meminta wadah yang berisi satu sha’ (air), kemudian ia mandi dan
mengucurkan air di atas kepalanya. Sementara antara kami dan beliau ada
tabir.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 251) dan Muslim (no. 320)]
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Yang nampak dari hadits tersebut
adalah bahwa keduanya (yakni Abu Salamah dan saudara ‘Aisyah) melihat
apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah pada kepala dan bagian atas tubuhnya,
dimana itu adalah bagian yang boleh dilihat oleh seorang mahram, dan
‘Aisyah adalah bibinya Abu Salamah karena persusuan, sementara ‘Aisyah
meletakkan tabir untuk menutupi bagian bawah tubuhnya, karena bagian
tersebut adalah bagian yang tidak boleh dilihat oleh mahram.” [Lihat
Fat-hul Baari (I/465)]
Sehingga, kesimpulan dari pendapat
pertama adalah mahram boleh melihat seluruh tubuh wanita, kecuali bagian
antara pusar hingga lutut.
Pendapat kedua: Seorang mahram
hanya boleh melihat anggota tubuh wanita yang biasa nampak, seperti
anggota-anggota tubuh yang terkena air wudhu’. [Lihat Sunan al-Baihaqi
(no. 9417), al-Inshaaf (VIII/20), al-Mughni (VI/554), al-Majmuu'
Fataawaa Ibn Taimiyah (XVI/140) dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Dahulu kaum lelaki
dan wanita pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
wudhu’ secara bersamaan.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 193), Abu
Dawud (no. 79), an-Nasa'i (I/57) dan Ibnu Majah (no. 381)]
Hadits di atas difahami sebagai suatu keadaan yang terjadi khusus bagi
para istri dan mahram, di mana mahram boleh melihat anggota wudhu’ para
wanita. [Lihat Fat-hul Baari (I/465), 'Aunul Ma'bud (I/147) dan Jaami'
Ahkaamin Nisaa' (IV/195)]
Kesimpulan dari pendapat kedua adalah bahwa mahram hanya diperbolehkan untuk melihat anggota wudhu’ seorang wanita.
*** artikel muslimah.or.id Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir Fataawaa an-Nisaa’ (Edisi Terjemah), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ta’liq: Muhammad Muhammad Amir, cet. Ailah Fat-hul Baari bi Syarh Shahiih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani, cet. Daar al-Hadits Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Pustaka at-Tibyan Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir Syarah al-Arba’uun al-Uswah Min al-Ahaadiits al-Waaridah fii an-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan
0 Response to "Aurat Wanita di Depan Mahramnya"